Tuesday, April 21, 2015

Syekh Muhammad Rohmat Amin bin Muhammad Amin (Mbah Rohmat) Wonoroto

10409251_811307922282836_4861621376470375496_nSyekh Muhammad Rohmat Amin (Mbah Rohmat ) Wonoroto adalah waliyullah asli kelahiran Wonoroto, Magelang. Beliau oleh Allah dianugrahi sakit semenjak kecil dan akhirnya kedua kaki beliau lumpuh total sejak usia 25 tahun. Sehingga kegiatan belajar mengajar santri, beliau lakukan di pembaringan. Hal itu beliau lakukan hingga beliau wafat.



Masa Kecil

Dikisahkan oleh kakak ipar beliau yang pernah menjadi teman main dan mengaji, Mbah Utik, masa kecil Mbah Rohmat penuh keprihatinan. Ketika Mbah Rohmat masih kecil, Mbah Muhammad Amin, ayah Mbah Rohmat, diperintahkan pindah ke Lampung oleh mertuanya yang beberapa tahun sebelumnya transmigrasi ke Lampung dan akhirnya hidup suskes. Mertua Mbah Muhammad Amin ini terkenal keras dan tegas. Sebenarnya ada keengganan Mbah Amin untuk pindah meninggalkan tempat tinggalnya karena beberapa hal. tapi menghindari hal-hal yang tak diinginkan, akhirnya Mbah Amin pun terpaksa menyanggupi perintah mertuanya itu. Bersama istri dan anak-anaknya, Mbah Amin akhirnya memutuskan untuk pindah ke Lampung. Pada waktu itu Mbah Amin sudah mempunyai 2 anak yang masih kecil, termasuk Mbah Rohmat, dan istri yang sedang mengandung.

Sesampai di terminal Magelang, Mbah Amin pamit pada istrinya untuk membeli makanan kecil sambil mengajak Mbah Rohmat kecil, untuk kemudian menyelinap dan pergi meninggalkan terminal. Sejak saat itulah Mbah Rohmat yang masih kecil berpisah dengan ibu, kakak dan adik beliau yang masih dalam kandungan.

Sementara itu, Mbah Amin terus berjalan menjauh dengan menggendong Mbah Rohmat kecil, berjalan tanpa tujuan selama berhari-hari, bersembunyi menjauhi jalan raya agar tidak ditemukan. Berhari-hari Mbah Rohmat terus berjalan menggendong Mbah Rohmat kecil, minum air hujan dan makan dr pemberian orang, selama itu Mbah Amin tidak makan, setiap ada makanan, beliau memberinya ke anak balitanya, yaitu mbah Rohmat. Akhirnya perjalanan beliau menginjak tanah Temanggung, tepatnya desa Sukomarto, kecamatan Jumo.

Akhirnya Mbah Amin bersama Mbah Rohmat kecil, meneruskan perjalanan pulang hingga sampai rumah mereka di desa Wonoroto setelah genap 2 minggu berjalan dan bersembunyi. Mbah Amin datang dengan keadaan lusuh, kurus karena dlm kurun waktu 2 minggu itu Mbah Amin tidak makan, hanya minum air. Dari sinilah dimulai kehidupan Mbah Rohmat di rumah hanya dengan ayah beliau, tanpa ibu dan saudara-saudaranya. Hingga 25 tahun kemudian, baru ibu, kakak dan adiknya bertemu kembali dengan Mbah Rohmat yang sudah dalam keadaan lumpuh.

Sebelum Mbah Rohmat lumpuh total dan masih bisa berjalan, beliau masyhur sebagai santri yang ulet, berguru dan ngaji pada ulama disekitar Magelang, dengan berjalan kaki. Padahal kedua kaki beliau sakit sampai harus beberapa kali istirahat, beliau tetap ngaji dengan jalan kaki sampai beliau tidak mampu untuk berjalan lagi.

Menurut cerita penduduk Wonoroto, Mbah Rohmat muda sudah terlihat keistimewaannya. Tangan beliau terampil dan cekatan dalam membuat kerajinan dan mainan anak-anak. Tulisannya juga bagus, bahkan ketika sudah lumpuh dan harus berbaring, tulisan beliau pun tetap bagus. Masih cerita dari sesepuh setempat, karena beliau hanya hidup berdua dengan bapak beliau yakni Mbah Muhamad Amin yg sudah udzur dan miskin, maka Mbah Rohmat diluar jadwal ngajinya, menjadi buruh tani pada orang-orang sekitar yang membutuhkan tenaga buruh, dan istimewanya lagi, beliau selalu membawa kitab untuk dibaca ketika istirahat kerja. Ini membuktikan bahwa kecintaanya pada ilmu sudah terpatri sejak Mbah Rohmat kecil.

Mbah Rohmat ketika muda juga dikenal gemar berziarah, beliau sering berziarah ke makam-makam auliya' di wilayah Magelang. Beliau ziarah dengan berjalan kaki walaupun kaki beliau sakit dan apabila ziarah disekitar desa, beliau sering mengajak anak-anak setempat dengan iming-iming sembari mencari burung. Hal ini dilakukan untuk mengenalkan ibadah ziarah ke makam leluhur kepada generasi muda khususnya anak-anak. Maka tidak heran jika setelah beliau wafat banyak yg ziarah makam beliau.

Sanad Keilmuan

Diantara guru Mbah Rohmat adalah Kyai Sujud, Kyai Darwi, Kyai Kholil dan Kyai Darsin. Pada Kyai Darsin inilah, Mbah Rohmat banyak mengaji kitab dan mendalami ilmu agama. Kyai Darsin adalah seorang alim dan pejuang dalam melawan penindasan penjajah, beliau sempat mengalami derita dipenjara penjajah Belanda. Kyai Darsin adalah santri Mbah Maksum Lasem, seperguruan dengan Mbah Kyai Kholil Mbolong. Sehingga sanad keilmuan Mbah Rohmat menyambung sampai Mbah Maksum Lasem. Sedangkan thoriqoh, Mbah Rohmat mengikuti thoriqoh Syadzaliyah, mengambil dari Mbah Mad Watucongol Magelang.

Membuka Majelis Hingga Mendirikan Pesantren

Diceritakan oleh Mbah Utik, seputar perjalanan riadhoh dan ujian mbah Rohmat. Mbah Utik menuturkan, di wilayah desa Wonoroto itu banyak alumni-alumni pesantren yg layak disebut orang pintar atau kyai, namun bukan sebuah perjuangan jika tanpa ujian dan cobaan. Pada masa awal beliau membuka majelis pengajian untuk anak-anak, tidak sedikit dari para alumni pesantren yang memandang sebelah mata kepada Mbah Rohmat, bahkan ujian itu datang dari teman beliau semasa mengaji. Memang diantara teman-teman satu pesantren, Mbah Rohmat terlihat paling tidak vokal, sehingga orang awam banyak yg menilai kealiman Mbah Rohmat dibawah teman-teman beliau yang juga menjadi kyai. Apalagi beliau sangat miskin, sering sakit-sakitan dan hanya hidup bersama bapak yg sudah lanjut usia, sangat berbeda dengan kyai-kyai teman sepesantrennya yang lain, yang mayoritas adalah anak orang-orang yg mampu dan mayoritas tuan tanah. Atas semua ujian tersebut, Mbah Rohmat menanggapinya dengan tenang, beliau tetap istiqomah melanjutkan majelis pengajiannya.

Pak Purnoto, juru kunci makam Mbah Rohmat yang juga santri Mbah Rohmat bercerita, di masa awal kelumpuhan, yaitu ketika Mbah Rohmat Amin berusia 25 tahun, adalah masa yang sangat menyedihkan bagi para santri dan keluarga, mereka kebingungan bagaimana cara merawat Mbah Rohmat karena ketika mereka menyentuh tubuh Mbah Rohmat, beliau mengaduh kesakitan. Pada awal kelumpuhan, Mbah Rohmat masih buang air kecil dan buang air besar namun itupun 2 minggu sekali, terkadang 1 bulan dan kadang 2 bulan sekali. Ketika beliau hendak buang hajat, Mbah Rohmat selalu memanggil Pak Purnoto dan terus seperti itu sampai 2 tahun lamanya. Setelah itu Mbah Rohmat sudah tidak buang air kecil maupun buang air besar sampai beliau wafat. Hal ini pun diamini oleh kerabat dan tetangga Mbah Rohmat. Sampai sekarang Pak Purnoto dipercaya masyarakat dan keluarga sebagai pengurus makam dan peninggalan Mbah Rohmat Amin.

[caption id="attachment_402" align="aligncenter" width="300"]11018787_791619780918317_3385376860275090786_n (1) Mbah Rohmat, kelumpuhan tidak menghalangi beliau menularkan ilmu kepada para santri[/caption]

Setelah beliau lumpuh, masyarakat terutama orang-orang dekat Mbah Rohmat, khawatir majelisnya akan ditutup. Ternyata Mbah Rohmat yang masih muda dan dalam keadaan lumpuh itu, karena kecintaannya pada ilmu, masih sanggup mengajari para santri walaupun beliau mengajar para santri di atas pembaringan. Masyarakat luas yang mendengar kabar tentang seorang kyai muda dan lumpuh yang bernama KH. Rohmat Amin Wonoroto, menjadi penasaran dan kealiman Mbah Rohmat pun tersebar luas lewat mulut ke mulut. Masyarakat pun sedikit demi sedikit mulai tahu bahwa Mbah Rohmat ternyata sangat mumpuni dalam hal agama dan masih sanggup mengajari ilmu dari berbagai kitab-kitab kepada masyarakat walaupun dalam keadaan tidak mampu berdiri. Maka sedikit demi sedikit, santri Mbah Rohmat terus bertambah dan semakin banyak yang mengaji pada beliau. Hingga akhirnya beliau mendirikan pesantren yang bernama Ponpes Daarul Muhtadiin Wonoroto sekitar tahun 1996.

Karomah

Dalam suatu obrolan, KH Kholil Tembarak Temanggung, salah satu guru dari Mbah Rohmat, berkata bahwa Mbah Rohmat itu sudah terlihat tanda-tanda bahwa beliau adalah seorang waliyullah. Karomah beliau yang utama adalah istiqomahnya beliau mengajar mengaji, beliau sangat cinta pada ilmu. Saking cintanya pada ilmu, sebelum Mbah Rohmat lumpuh, alat-alat pertanian untuk buruh tani beliau jual untuk membeli kitab. Hal itu menjadi tanda-tanda kewalian beliau sejak muda. Mbah Rohmat tidak pernah mengeluarkan hadats dan jarang tidur, saking seringnya riyadhoh dan mutholaah, wudhu beliau baru diperbaharui tiap 15 hari sekali.

Kisah lain diceritakan oleh KH. Thoifur Mawardi Purworejo, ketika mengisi khoul Mbah Rohmat 27 dzul qa'dah. Beliau diberi tahu oleh Mbah Maemun tentang keta'ajuban beliau pada Mbah Rohmat Wonoroto. Diceritakan, setelah mendengar kabar tentang Mbah Rohmat, Mbah Maemun pun pergi bersilaturahim ke Mbah Rohmat. Sampai didepan pintu, sebelum Mbah Maemun sempat salam, Mbah Rohmat sudah mempersilahkan masuk. Padahal posisi Mbah Rohmat berada di dalam kamar dan tidak ada yang memberitahu kedatangan Mbah Maemun Zubair.

Diceritakan pula, jika Mbah Rohmat ingin berganti pakaian dan bersuci, beliau memanggil santri yg biasa membantu mengambilkan air untuk Mbah Rohmat dan menyiapkan pakaian bersih lalu cukup diletakkan di samping tubuh Mbah Rohmat. Setelah santri khodim tersebut menutup korden, Mbah Rohmat berganti pakaian sendiri tanpa bantuan orang lain. Tidak berselang lama, Mbah Rohmat membuka korden dan sudah berganti pakaian.

Keunikan yang lain dari Mbah Rohmat, beliau sering meminta penjahit menjahitkan pakaian yang modelnya tidak lazim pada waktu itu, dan ternyata beberapa tahun kemudian model itu jadi trend mode pakaian, beliau seakan akan tahu bagaimana mode pakaian dimasa depan. Mbah Rohmat sejak kecil walaupun miskin, tapi terbiasa rapi dan kebiasaan berpakaian rapi itu masih tetap terjaga hingga di saat beliau lumpuh.

Wafat

Kecintaan akan ilmu terutama ilmu agama, telah membuat Mbah Rohmat istiqomah dalam memberi ilmu kepada masyarakat. Hingga Allah SWT berkenan memanggil Mbah Rohmat dalam keadaan sedang menyimak para santrinya yang sedang mengaji sistem sorogan di pesantrennya. Beliau wafat malam selasa ba'da maghrib 19 Februari 2004 berketepatan dengan 27 dzul qo'dah.

Dikarenakan Mbah Rohmat sakit sejak remaja dan kedua kaki beliau lumpuh pada usia 25, beliau membujang seumur hidup. Waktunya habis dicurahkan untuk santri dan masyarakat luas, menyebarluaskan agama Allah melalui pesantren beliau, Ponpes Daarul Muhtadiin Wonoroto. Setelah Mbah Rohmat wafat, estafet pengasuh diserahkan kepada putra dari adik sepupu Mbah Rohmat, yang bernama  KH. Nurhuda.

Lahu Al-Faatihah.