
Mukhlis, salah satu santri kepercayaan Abu Ibrahim Woyla, ditengarai mengetahui persis garis keturunan Abu Ibrahim Woyla. Awalnya garis ke atas keturunan Abu Ibrahim Woyla yang berasal dari Negeri Baghdad berjumlah tujuh orang datang ke Tanah Aceh, persisnya berlabuh di Aceh Barat. Kemudian, ketujuhnya berpisah ke beberapa daerah di Aceh dan di luar Aceh untuk menyebarkan agama Islam.
Menurut riwayat, pendidikan formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR), selebihnya menempuh pendidikan Dayah (pesantren tradisional/salafiyyah) selama hampir 25 tahun. Dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syaikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh Besar yang mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blang Pidie Aceh Barat.
Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syaikh Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu Abu Adnan Bakongan. Abu Ibrahim Woyla juga berguru pada Syekh Muda Waly, murid dari Syekh Mahmud, untuk memperdalam Thariqah Naqsyabandiyah. Setelah lebih kurang 2 tahun memperdalam ilmu thariqah pada Syaikh Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya. Tapi tak lama setelah itu Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri tidak mengetahui ke mana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara.
Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri. Isteri pertama bernama Rukiah dan dikaruniai 3 orang anak, 1 laki-laki dan 2 perempuan, bernama Salmiah, Hayatun Nufus dan Zulkifli. Sementara isteri keduanya dinikahi di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal, dan tidak dikaruniai anak. Bagi orang yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla sosok yang tidak normal. Karena disamping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus komat-kamit mengucapkan dzikir sambil jalan.
Menurut Teungku Nasruddin (Ulama setempat), dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi. Ia mencontohkan, kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang tersebut bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Biasanya Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak dalam jumlah yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan Rasulullah Saw.). Begitulah kehidupan Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-hari.
Keajaiban lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla kalau pergi ke mana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sendal.
Teungku Muhammad Kurdi Syam menceritakan suatu ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 atau 2 jam dengan kendaraan bermotor). Anehnya, Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain yang mendahului mobilnya. Kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok ulama keramat Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh pikiran orang biasa.
Pernah beliau berkunjung ke rumah Gus Dur. Kisah ini diceritakan langsung oleh salah satu santri Gus Dur, Ustadz Nuruddin Hidayat, yang menyaksikan pertemuan Gus Dur dengan Abu Ibrahim Woyla.
Sebagai tokoh yang dihormati dan dikagumi banyak orang, rumah Gus Dur tak pernah sepi dari kunjungan para tamu, baik dari warga NU, pejabat, politisi, wartawan dan sebagainya. Gus Dur menerima tamu-tamunya biasanya dengan pakaian non formal. Karena kondisi fisiknya yang sudah lemah, biasanya para tamu diajak mengobrol sambil tiduran.
“Saya pun merasa terheran-heran ketika ada tamu, Gus Dur minta untuk digantikan pakaiannya dengan kain sarung dan peci, seperti ketika mau shalat Idul Fitri. Seumur-umur saya belum pernah melihat Gus Dur seperti itu,” tutur Ustadz Nuruddun Hidayat.
Rombongan tamu tersebut sampai ditahan agar tidak masuk rumah dahulu, sampai Gus Dur dipinjami salah satu sarung milik santrinya agar bisa cepat berganti pakaian.
Tamu, yang diketahuinya ternyata dari Aceh tersebut berpakaian sederhana, dekil, dan memakai celana seperti yang biasa dipakai oleh bakul dawet (penjual dawet). Tamu tersebut diantar oleh aktifitis Aceh.
Perilaku Gus Dur dan tamunya juga aneh. Setelah keduanya bersalaman, Gus Dur pun duduk di karpet, demikian pula tamunya, tetapi tak ada obrolan di antara keduanya. Gus Dur tidur, tamunya juga tidur, suasana menjadi sunyi yang berlangsung sekitar 15 menit. Setelah sang tamu bangun, ia langsung pamit pulang, tak ada pembicaraan.
Karena merasa penasaran, segera setelah tamu pergi, Santri Nuruddin Hidayat bertanya kepada Gus Dur: “Pak, tumben Bapak pakai sarung, ngak biasanya menerima tamu seperti ini.”
Jawab Gus Dur: “Itu Wali.”
Nuruddin pun kaget dan bertanya: “Apa ada wali lain seperti beliau Pak?”
“Di sini tidak ada, adanya di Sudan yang seperti beliau,” jawab Gus Dur.
Tengku Abu Ibrahim Woyla berpulang ke Rahmatullah pada hari Sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90 tahun.
Lahu Al-Faatihah.