Pada masa awal kelahirannya, Wahid Hasyim sering sakit-sakitan. Sebagai anak lelaki pertama (empat anak terdahulu perempuan) hal itu merisaukan ibundanya, Nyai Nafiqoh. Sang ibu bernazar, pada usia tiga bulan Wahid akan dibawa ke guru ayahnya, KH Kholil, di Bangkalan, Madura.
Ketika waktu itu tiba, Bangkalan sedang disiram hujan lebat. Petir sambar-menyambar. Bukannya membukakan pintu, Mbah Kholil malah meminta tamu dan bayinya itu menunggu di halaman rumah. Karena cemas melihat bayinya kehujanan, Nyai Nafiqoh menggendong sang
bayi berteduh di emper sambil berdoa. Tuan rumah tidak kasihan, tapi malah memerintahkan membawa sang bayi kembali ke halaman. Beberapa waktu kemudian, Mbah Kholil meminta bayi itu dibawa pulang.
"Gus Dur pernah berkata, kisah itu menjadi isyarat, kelak sang bayi akan menjadi orang besar," kata Munib Huda, mantan sekretaris pribadi KH. Abdurrahman Wahid, anak tertua KH. Wahid Hasyim. Munib menilai kisah itu hanya bisa ditafsirkan oleh orang-orang yang ikhlas dan linuwih.
Lahum Al-Faatihah