
Islam masuk ke negeri-negeri Melayu, termasuk Indonesia, sejak abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 Masehi.[1] Teori ini diperkuat dengan; pertama, pendapat HAMKA yang mengatakan bahwa pada tahun 625 M., sebuah naskah Tiongkok mengabarkan bahwa mereka menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatera (Barus),[2] wilayah Barus masuk ke wilayah kerajaan Srivijaya. Kedua, Pada tahun 674 M., semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, telah mengirimkan seorang utusan, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan untuk datang ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga [Ho-Ling]). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah Raja Jay Sima (Putra Ratu Sima) dari Kalingga masuk Islam.[3] Ketiga,Pada tahun 718 M., Raja Srivijaya, Sri Indravarman setelah terjadinya kerusuhan Kanton (Kongfu) dan daerah Sumatera kemudian masuk Islam pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).[4]
Meskipun demikian, Islam di Indonesia mulai berkembang pesat pada sekitar abad ke-13 M.[5] Kerajaan Samudra Pasai di Aceh merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di nusantara pada abad ke-13 M., disusul kemudian dengan kerajaan Islam Demak dan Kesultanan Banten di Jawa pada sekitar abad ke-16 M. Sejak itu Islam menyebar ke seluruh wilayah nusantara dengan damai dan toleran yang disebarkan oleh para pedagang dan para ulama’ yang dikemudian hari dikenal sebagai wali songo.[6]
Sementara menurut sumber cerita tutur lain yang berkembang di pedesaan Jawa, peradaban (Islam) di tanah Jawa dimulai dengan kedatangan Syaikh Syubakir ke pegunungan Tidar Magelang,[7] untuk berdakwah dan mengajarkan Islam. Kedatangan Syaikh Syubakir yang merupakan utusan dari Turki tersebut, terjadi jauh sebelum kedatangan Syaikh Jumadil Kubra dan para saudagar dari Campa maupun Gujarat.
Gunung Tidar merupakan sebuah gunung yang dikenal sebagai “pakunya tanah Jawa”. Gunung ini berada pada ketinggian 503 meter dari permukaan laut (DPL). Menurut legenda (hikayat) gunung Tidar, Syaikh Subakir datang ke gunung Tidar bersama kawannya yang bernama Syaikh Jangkung untuk menyebarkan agama Islam. Adapun senjata yang dipergunakan untuk mengalahkan para dedemit dan jin penunggu gunung adalah Kyai Sepajang, sebuah tombak yang panjangnya mencapai 7 meter.
Di Gunung tidar, setidaknya akan ditemukan 3 (tiga) gundukan tanah kuburan, yaitu, makam Syaikh Syubakir, makam Kyai Sepanjang [panjang makam mencapai 7 meter] dan makam Kyai Semar [Jin penunggu gunung yang ditaklukkan oleh Syaikh Syubakir, versi lain menyebutkan Kyai Semar merupakan Semar yang ada dalam cerita pewayangan].[8]Sementara makam Syaikh Jangkung berada di kaki pegunungan Dieng, tepatnya di desa Kreo kecamatan Kejajar kabupaten Wonosobo. Beliau dimakamkan bersama dengan priyayi agung lainnya, yaitu: Kyai Pido Ibrahim, Kyai Bangkit, Kyai Ageng Gribig, Kyai Bela-Belo, Kyai Bontot, Kyai Jagang Joyo, Nyai Poniem (Putri Kanjeng Roro Ayu), Raden Kertosari, Kyai Keramat (Kyai Karim), Ki Ageng Serang dan Syaikh Jangkung.[9]
Teori sejarah memang potret masa lalu yang dikonstruksi dan di-interpretasikan oleh para ahli. Karena merupakan potret masa lampau, sejarah sering kali diliputi oleh kabut misteri dan kegelapan informasi yang berbeda-beda, hal ini dimungkinkan karena perbedaan cara pandang dan minimnya bukti fisik yang dapat dijadikan objek kajian sejarah. Demikian pula tentang sejarah masuknya Islam di daerah Kedu dan sekitarnya yang dipenuhi dengan kabut misteri. Abdurrahman Wahid, bahkan menyebutkan bahwa Islam datang pertama kali ke Jawa justeru di desa Candi (kini bernama desa Candiroto, kecamatan Mojotengah, kabupaten Wonosobo), dengan demikian, desa tersebut merupakan desa Islam pertama yang ada di tanah Jawa yang dibangun oleh Syaikh Abdullah Qutbudin, seorang ulama’ sufi yang berasal dari Iran dan menyebarkan agama Islam dengan membawa bendera tarekatNaqsbandiyah.
Belum ada penelitian ilmiah yang mengupas siapa dan bagaimana sepak terjang Syekh Abdullah Qutbudin dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, khususnya di Wonosobo. Hingga kini cerita tentang tokoh tersebut masih dari mulut ke mulut saja. Menurut cerita Gus Dur, Syekh Abdullah ini mendirikan pesantren di Desa Candirejo namun karena tidak memiliki keturunan, lama-kelamaan pesantrennya tersebut hancur. Ini bisa dilihat dari banyaknya batu-batu candi yang berada di sekitar makam.[10]
[caption id="attachment_586" align="aligncenter" width="300"]

Sumber cerita lain menyebutkan, Islam datang dan menyebar di wilayah Kedu melalui jalur Wonosobo, yaitu setelah para ulama’ dan sayyid menyebarkan Islam di wilayah pantai utara (Pekalongan, Batang dan sekitarnya). Tokoh yang dipercaya menyebarkan Islam di wilayah Wonosobo dan sekitarnya tersebut adalah Syaikh Abdullah Selomanik[11](dimakamkan di desa Kalilembu, Dieng) dan Sayid Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba’abud. Konon mereka berasal dari Hadramaut (Yaman) dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW,. Bersama keluarga Bin Yahya, keluarga Ba’bud datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam dan mengajarkan tarekat Alawiyin dan Syathariyah. Keduanya menurut buku Sajarat al-‘Ammah yang ditulis Robithoh Alawiyin Indonesia, merupakan keturunan Ba’bud dan bin Yahya serta para pengikutnya yang masuk ke kawasan ini pada tahun 1791 M atau akhir abad 16 memasuki abad 17 Masehi.[12] Sebelumnya, Para keturunan sayyid tersebut bermukim di Batang dan Pekalongan.
Pendapat itu disertai bukti dalam buku Sajarat al-‘Ammah terdapat catatan bahwa rombongan keluarga Ba’bud dan Bin Yahya marga Alawiyin berdakwah dan wafat di Wonosobo. Bukti lainnya adalah artevak batu nisan terdapat makam pengikut Sayyid Hasyim dari Pekalongan yang bernama Mu’minah binti Zakaria Al Qodli yang berangka tahun 1260 H., makam Yahya Hajatun Nabi bertahun 1260 H. serta makam Walid Hasyim Ibn Hajatun 1262 H.
[caption id="" align="aligncenter" width="320"]

Setelah dirasa cukup dalam menyebarkan Islam di Batang, Sayid Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba’abud kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah selatan pegunungan Dieng yang waktu itu merupakan bermukimnya masyarakat Hindu-Budha. Kemudian turun ke wilayah selatan yang sekarang disebut Kauman (Wonosobo). Kampung ini dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus pusat penyebaran agama. Mereka membangun langgar sebagai cikal bakal masjid al-manshur yang menjadi tempat pengajaran agama serta mengajarkan tarekat Alawiyah dan Syathariyah.[13]
Tentang para Sayyid-Syarif yang menyebarkan Islam di Jawa (dan tentunya di wilayah Kedu) ini dibenarkan oleh L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886) mengatakan:[14]
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orangSayyid-Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golonganSayyid-Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid-Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW)....Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan Van Den Berg menyebut abad ke-15, merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar juru dakwah di pulau Jawa. Disusul kemudian pada abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al-Habsyi, Al-Hadad, Alaydrus, A-‘Attas, Al-Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya. Para Sayyid tersebut berlabuh di daerah pesisir utara kemudian yang berada di Pekalongan dan Batang menyebarkan Islam ke arah pegunungan Dieng dilanjutkan ke wilayah Kedu lainnya. Kitab Babad Kedhu memberikan informasi ketika para Wali Songo akan melakukan syiar Islam, mereka bersepakat untuk menghilangkan pengaruh dari agama Hindu yang masih kuat. Sunan Bonang mengutus Kyai Karim dan Kyai Walik ke kawasan Dieng, sementara Sunan Kalijogo mengirim Kyai Baidhowi dan Kyai Cakrajaya ke kawasan Bagelen. Berikut dinukilkan Babad Kedhu:[15]
“...Nalika jaman semana kraton Demak Bintara wiwit ngadeg dadi kraton anyar nyirnakaké panguwasané kraton Majapahit tumraping tanah Jawa, para Wali mupakat yèn kepingin kasil ngislamaké wong Jawa kudu bisa ngilangaké pengaruh – pengaruh Hindu salah sijiné ya kang ana wewengkon Dièng, lan Dièng sakkiwa tengené kudu dibabad, sing dibabad ora ana liya ya mung pengaruh Hinduné dadi dudu alas gung liwang – liwungé. Sunan Bonang banjur utusan santriné loro kang aran Ki Walik lan Ki Karim, kautus supaya bisa mbabad wewengkon Dièng sakkiwa tengené supaya bisa salin agama suci agamaning Rasul yaiku Islam. Santri loro kuwi banjur lumarab tedhak saksanak brayaté tumuju ing wewengkon sakkiwa tengené Dièng, kanthi nganggo sarana dakwah mawa seni budaya tari kang banjur diarani seni tari Lènggèr, sing minangka tembung kerata basa èlinga nggèr, saya suwé akèh kang kasengsem marang agama anyar iki, nanging émané ana siji sing durung bisa salin agama yaiku panguwasa kahyangan Dièng kang peparab Kaladité, mbokmenawa asalé saka tembung kaladitya. Mula kyai Karim banjur tedhak ing Dièng banthah kawruh lawan Kaladité, lan Kaladité asor anggoné banthah kawruh banjur gelem ngrasuk Islam lan peparab Kyai Kaladité, nanging piyambaké banjur moksa lan ninggalké pepèling sing sapa wongè duwé anak rambuté gèmbèl kuwi kudu direksa amarga bocah kuwi isih tedhak turuné Kyai Kaladité....Sunan Kalijaga ugo banjur utusan santriné loro kang aran Ki Baedowilan Ki Cakrajaya, kautus supaya bisa mbabad wewengkon Bagelen...”
Dengan demikian kawasan Dieng mengenal Islam melalui Kyai Karim, Kyai Walik dan Kyai Kolodete, sementara wilayah Bagelen mengenal Islam melalui Kyai Baedlowi dan Ki Cakrajaya, salah satu murid Sunan Kalijaga dan seorang tukang sadap nira dari Bagelen, Ki Cakrajaya lebih dikenal dengan sebutan Sunan Geseng yang banyak meninggalkan peninggalan sejarah di Bagelen dan Loano.[16] Menurut Sulastiyani,[17]strategi yang digunakan dalam proses Islamisasi di Bagelan dengan cara dakwah kultural yang dijalankan melalui lima cara yakni: a). melalui institusi politik. b). melalui sistem perekonomian. c).pendekatan adat istiadat. d). melalui jalur keagamaan. e). melalui jalur karya seni dan sastra dengan menciptakan hasil karya yang bernuansa Islam.
*) Tulisan ini dipersiapkan sebagai bagian dari draf buku “Al-Ustadz Agiel Muhammad Ba’abud; Sayyid Multitalenta”
**)Penulis : Rohani, adalah Alumnus Pesantren al-Iman Purworejo (2000)
[1] Lihat: A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Cet. Ke-2 (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hal. 7; Nor Huda,Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 36
[2] HAMKA, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang: 1982), hal. 20
[3] Selengkapnya: Zainal Abidin Ahmad, lmu politik Islam V; Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang,(Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia, diunduh pada 10 Oktober 2011
[5] Dengan beberapa perbedaan tentang islam masuk ke nusantara tersebut, haruslah dibuat sintesis dengan membuat fase-fase/tahapan-tahapan kedatangan Islam ke nusantara. Abad ke-7 M., merupakan tahap permulaan. Adapun abad ke-13-16M., merupakan tahap pembentukan dan penyebaran masyarakat Islam. Baca: Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1988), hal. 55-58.
[6] Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa; Kedua menyebutkan bahwa kata songo/sangaberasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia; Ketiga, Pendapat lainnya lagi menyebut kata sanaberasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat, dan; keempat, Pendapat yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim,Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir. Baca:, KH. Mohammad Dahlan., Haul Sunan Ampel Ke-555,(Surabaya: Penerbit Yayasan Makam Sunan Ampel: 1979), hal. 1-2
[7] Konon ketika Syaikh Syubakir diutus ke tanah Jawa, waktu itu tanah Jawa masih berupa hutan belantara yang dihuni oleh dedemit,syetan, jin parayangan, binatang buas dan makhluk halus lainnya. Mundzir Nadzir, fafirrû ila Allah, (Surabaya: Maktabah Ahmad ibn Sa’id ibn Nubhan wa aulâdih: tt), hal. 7
[8] Sementara di puncak gunung Tidar terdapat sebuah areal (lapangan) yang cukup luas. Di tengah lapangan, terdapat sebuah tugu dengan simbol huruf Jawa “Sa” (dibaca seperti pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada tiga sisinya. Menurut penuturan juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh (siapa salah ketahuan salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai “Pakunya Tanah Jawa”, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman. http://id.wikipedia.org/wiki/gunung_tidar
[9] Nurul Mubn, Islam Bumi Kahyangan Dieng; Potret Akulturasi Kebudayaan Islam, Hindu dan Kearifan Lokal Masyarakat Dataran Tinggi Dieng, (Yogyakarta: Pustaka Prisma: 2010), hal. 208
[10] Makam Syekh Abdullah Qutbudin terletak di bawah pohon tua berusia ratusan tahun yang berada di tengah-tengah areal persawahan bercampur dengan makam umum warga setempat. Makam Syekh Abdullah Qutbudin sendiri berada persis di sebelah kiri pintu masuk dan berada di tengah-tengah akar yang bertonjolan. Sangat sederhana tidak ada cungkup atau kijing mewah hanya berupa gundukan tanah yang pinggir-pinggirnya diberi batu-batu. Selain itu terdapat dua batu nisan berukir di kanan dan kirinya serta ada dua makam di sana yang berdampingan. Menurut warga, satunya adalah makam istri Syekh Abdullah Qutbudin. Di sekitarnya berserakan batu-batu tua berbentuk persegi panjang seperti bata. Diyakini batu tersebut adalah bekas bangunan pondok pesantren milik Syekh Abdullah. Konon, Syekh Abdullah tidak mau makamnya dibangun mewah lantaran lebih memilih apa adanya berupa batu nisan yang berbentuk seperti candi. Baca: di sini
[11] Syekh Abdullah Selomanik adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Putra Raden Bintoro I yang bergelar R. Lembu Peteng (Kyai Tarup). Diyakini pula tokoh ini merupakan penyebar agama Islam pertama di Lembah Dieng. Baca: “Makam Syekh Abdullah Selomanik, Dikunjungi Gus Dur dan Tokoh Nasional”, dalamhttp://www.jatiningjati.com/2009/06/makam-syekh-abdullah-selomanik_29.html, diunduh 11 0ktober 2011
[12] Sayid Hasyim wafat pada tahun 1212 Hijriah atau 1791 Masehi dalam usia 120 tahun. Nisan yang berukir huruf Arab dan Jawa menunjukkan angka tahun 1791 M dimakamkan di Dusun Ketinggring, Desa Kalianget Wonosobo. Lis Retno Wibowo, “Abad 16 M, Islam Masuk Wonosobo”, dalamhttp://azizulmanal.blogspot.com/2009/09/abad-16-m-islam-masuk-wonosobo.html, diunduh 2 Oktober 2011.
[13] Cerita ini didapat dalam laporan tim penelitian makam tua Dusun Ketinggring Desa Kalianget dan Desa Kejiwan, yang terdiri dari Habib Aqil Ba’abud (Keturunan Sayyid Hasyim bin Idrus), Ahmad Muzan (Yayasan Fatanugraha), Elias Sumar, dan Bambang Sutejo (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo). Lihat, Ibid.
[14] Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia, diunduh 10 Oktober 2011
[15] Setya Amrih Prasaja, “Wanwasabhā; Papan Panggonan Kang Disaba”, dalam www.setyawara.tk, diunduh 10 Januari 2011
[16] “Sejarah Kota Purworejo”, dalam: http://bom2000.com/sejarah-kota-purworejo.html, diunduh pada 10 Oktober 2011. Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri. Rohani, “Pendekatan Budaya dalam Pendidikan Islam”, makalah seminar kelas Pascasarjana UNSIQ, 20 September 2008, hal. 4
[17] Sulistiyani, “Islamisasi di Bagelen Purworejo pada Masa Pemerintahan Sultan Agung Tahun 1613-1645 M”,Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2008