Wednesday, July 22, 2015

Said bin Al- Musayyib

Tokoh kita kali ini adalah salah seorang yang berpengetahuan luas dan biografinya pantas kami ketengahkan. Memang dia tidak begitu terkenal di kalangan khalayak umum, akan tetapi karena kepakaran ilmunya dia terkenal di kalangan intelektual dan para cendekia.


Nama Lengkapnya


Nama beliau adalah Said bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahab bin Amru bin A’id bin Imran bin Makhzum Al-Qurasy Al-Mahzumi Al-Madani, panggilannya adalah abu muhammad al-madani beliau adalah salah satu pembesar para tabi’in.


Lahir dan wafatnya


Said bin Al-Musayyib dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah umar bin khattab. Sedangkan wafatnya, dari Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi Farwah, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib meninggal dunia di madinah pada tahun 94 Hijriah pada masa pemerintahan khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Pada saat meninggal dunia, dia berumur 75 tahun. Tahun dimasa said meninggal dunia disebut sebagai sanah al-fuqaha'(tahun bagi ulama’ fikih) kerena pada saat itu banyak ahli fikih yang meninggal dunia.”


Ilmu Pengetahuannya


Said bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di madinah pada masanya dan yang sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam para ulama’ fiqih.


Abu Tholib berkata, “Aku penah bertanya kepada imam ahmad bin hanbal, “Siapakah said bin Al-Musayyib? “Dia menjawab, “Siapa yang menandingi said bin Al-Musayyib? Dia adalah orang yang dapat dipercaya dan termasuk orang yang sholeh.


Aku bertanya lagi, “Apakah riwayat Said dari Umar bin Khattab dapat dijadikan hujjah? “Dia menjawab, “Dia adalah hujjah bagi kita, dia pernah melihat Umar bin Al-Khattab dan banyak mendengar hadits darinya. Kalaulah riwayat Said dari Umar tidak diterima, siapa lagi yang dapat diterima?”


Dari malik dia berkata, “sesungguhnya Al-Qosim bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang suatu permasalahan, lalu dia berkata, “Apakah anda telah bertanya pada orang selainku? “Orang itu menjawab, “Ya, sudah, aku bertanya kepada Urwah dan Said bin Al-Musayyib, “Lalu dia berkata, “Ikutilah pendapat Said bin Al-Musayyib karena dialah guru dan pembesar kami.”


Dari Abu Ali bin Al-Husain, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib adalah orang yang paling luas wawasan keilmuannya tentang hadits-hadits dan perkataan para sahabat disamping itu dia juga orang yang paling mumpuni pendapatnya.”


Ibadahnya


Dari Utsman bin Hukaim,dia berkata, “Aku pernah mendengar Said bin Musayyib berkata, “Selama 30 tahun, setiap kali para muadzin mengumandangkan adzan, pasti aku sudah berada di dalam masjid.


Dari Abdul Mu’in bin Idris dari ayahnya, ia berkata,”Selama 50 tahun Said bin Musayyib melaksanakan sholat subuh dengan wudhu’ sholat isya’. Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama dalam sholat selama lima tahun (sholat diawal waktu). Aku juga tidak pernah melihat punggung para jama’ah, karena aku selalu berada di barisan terdepan selama lima tahun itu.


Ia menunaikan haji sekitar 40 tahun ia tidak pernah terlambat dari takbir pertama di masjid Rasul. Tak pernah diketahui darinya bahwa ia melihat tengkuk seseorang dalam sholat sejak itu selamanya, karena ia selalu berada di shof pertama. Ia dalam kelapangan rizki, sehingga bisa menikah dengan wanita quraisy manapun yang ia kehendaki. Namun, ia lebih memilih putri Abu Hurairah, karena kedudukannya di sisi Rasulullah, keluasan riwayatnya dan keinginannya begitu besar dalam mengambil hadits.


Sanjungan ulama’ mengenai beliau


Said bin Al-Musayyib adalah ulama’ yang sudah terkenal dengan kefaqihannya, maka banyak komentar-komentar para ulama’ menganai beliau diantaranya:


Adalah Sa’id bin Musayyib  termasuk salah satu Al-Fuqahaa’u Sab’ah di Madinah (sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qoyyim), mereka itu adalah:




  1. Sa’id bin Al-Musayyab,

  2. ‘Urwah bin Az-Zubair,

  3. Al-Qasim bin Muhammad,

  4. Kharijah bin Zaid,

  5. Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hasyim,

  6. Sulaiman bin Yasaar,

  7. ‘Ubaidllah bin Abdullash bin ‘Utbah bin Mas’ud[1]


Qotadah berkata: Saya tidak menemukan seseorang yang lebih pandai dalam masalah halal dan haram dari sa’id bin musayyib.


Sulaiman bin Musa berkata: Said bin musayyib adalah salah satu tabi’in yang terfaqih.


Ali bin Al-Madani berkata: “Aku tidak menemukan para tabi’in yang lebih luas wawasannya dari Said bin Al-Musayyib. Menurutku, dia adalah tabi’in yang paling terhormat dan mulia.


Berkata Utsman Al-Harits: Saya mendengan Ahmad bin hanbal berkata: seutama-utama tabi;in adalah Said bin Al-Musayyib, kemudian salah seseorang berkata bagaimana dengan alqomah dan aswad? Kemudian dijawab: Said bin Al-Musayyib dan Alqomah dan Aswad.


Abu zur’ah berkata: “Dia termasuk orang pandai bergaul, bersal dari suku quraisy dan dapat dipercaya. Selain itu, said juga seorang imam.


Berkata Abi ibnu al-madini: saya tidak mengetahui diantara para tabi’in yang lebih luas ilmunya dari pada Said bin Al-Musayyib.


Ahmad bin abdullah al-‘ajali berkata: “Said bin Al-Musayyib adalah seorang yang sholeh, ahli fiqh dan tidak mau mengambil begitu saja suatu pemberian (hadiah). Dia pernah mempunyai barang perniagaan senilai 400 dinar, dengan jumlah itu ia berdagang minyak. Dia adalah seorang yang buta sebelah matanya.[2]


Kewibawaan dan perjuangannya membela kebenaran


Dari Imran bin Abdullah, dia berkata, “Said mempunyai hak atas harta yang ada di baitul mal sebanyak tiga puluhan ribu. Dia diundang untuk mengambilnya, akan tetapi dia menolaknya. Dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, hingga Allah berkenan memberikan keputusan yang adil antara aku dan bani marwan.


Dari Ali bin Zaid berkata, “seseorang pernah berkata kepada said bin al-musayyib, “apa pendapat anda tentang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi yang tidak pernah mengutus seseorang kepada anda dan tidak pula menyakiti anda? “Said menjawab , “Demi Allah, hanya saja dia pernah masuk masjid dengan ayahnya, kemudian melakukan sholat yang tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. Lalu, aku segera mengambil segenggam kerikil dan aku lemparkan kepadanya dan Al-Hajjaj pun berkata, “Aku merasa telah melakukan sholat dengan baik.


Ibnu saat dalam kitab ath-thabaqot dari malik bin anas mengtakan, “pada saat Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai kholifah, dia tidak pernah memutuskan suatu perkara kecuali setelah meminta pendapat dan bermusyawarah dengan Said bin Al-Musayyib.


Pada suatu ketika, khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengutus pengawalnya untuk menanyakan suatu permasalahan. Kemudian, penglawal tersebut mengundangnya dan mengjaknya datang ke istana, setelah said datang, umar bin abdul aziz buru-buru berkata. “utusanku telah melakukan kesalahan, aku hanya ingin menanyakan kepadamu tentang suatu permasalahan di majelismu,”


Dari Salamah bin Miskin, dia berkata, “Imran bin Abdullah telah memberitahukan kepada kami, dia berkata, “Aku melihat Said bin Al-Musayyib adalah seorang yang lebih ringan untuk berjuang di jalan allah dari seekor lalat.”


Karena ghirahnya terhadap ilmu, para ulama Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa hadis mursal tidak boleh dijadikan hujjah, kecuali hadits mursal itu diriwayatkan oleh Sa'id bin Al- Musayyib.


Guru-gurunya


Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Barra’ bin ‘Azib, Bashrah bin Aktsam Al-Anshori, Bilal budaknya Abu Bakar Ash-Shiddiq, Jabir bin Abdillah, Jubair bin Muth’im, Hasan bin Tsabit, Hakim bin Hazam, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Kholid Al-Juhni, Sarakah bin Malik Binji’syim, Saat bin Ubadah, Saat bin Abi Waqqas, Shofwan bin Umayah, Suhaib bin Sinan, Dhohhak bin Sufyan, Amir bin Abi Umayah, Amir bin Saad bin Abi Waqqos, Abdullah bin Zaid bin Ashim Al-Mazini, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin Utsman At-Taimi, Utab bin Usaid, Utsman bin Abi Ash, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Umar bin Khattab, Musayyib bin Hazn(Bapaknya), Muawiyyah bin Abi Shofyan,Makmar bin Abdullah bin Nadhlah, Nafi’, Abu Bakar As-Shidiq, Abi Tsa’labah Al-Husni, Abu Darda’, Abu Dzar Al-Gifari, Abu Said Al-Hudri, Abu Qotadah Al-Anshori, Abi Musa Al-Asy’ari, Abi Hurairah,


Disamping itu juga beliau berguru kepada istri nabi. Seperti Aisyah, dan Ummu Salamah, dan lain-lain.


Murid-muridnya


Sedangkan murid-muridnya adalah Idris bin Shobih Al-Auda, Usamah bin Zaid Al-Laisi, Ismail bin Umayah, Basir bin Muharrar, Bakir bin Abdullah bin Asyja’, Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dabab, Hasan bin ‘Athiah, Al-Hudrami bin Lahiq, Kholad bin Abdirrahman Ash-Shn’ani, Dawud bin ‘Asim bin Urwah bin Mas’ud Asy-Syaqofi, Dawud bin Abi Hind, Zaid bin Aslam, Zaid Al-Bashari, Abdulwahid bin Zaid, Salim bin Abdullah bin Umar, Saad bin Ibrahim, Said bin Khalid bin Abdullah bin Qorid Al-Qoridho, Said bin Yazid Al-Bashori, Syarik bin Abdullah bin Damar, Sholeh bin Abi Hasan Al-Madani, Shofwan bin Salim, Thoriq bin Abdurrahman, Thalak bin Habib, Abu Zanad Abdullah bin Dakwan, Abdullah bin Qosim At-Taimi, Abdullah bin Muhammad Bin Uqail, Abdullah bin Qoyyis At-Tajibi. Dan masih banyak lagi murid-muridnya yang lain yang tidak disebutkan disini.


Beberapa Hadits yang Diriwayatkan Sai’d bin Musayyib


Sa’id bin Musayyib meriwayatkan hadits-hadits secara mursal dari Rasulullah, diantaranya;


– Dari Sa’id bin Musayyib, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw besarbda:


(( ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ وَإِنْ صَامَ وَإِنْ صَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَ إِذَا ائْتُمِنَ خَانَ ))


“Tiga perkara, jika tedapat dalam diri seseorang maka dia layak disebut sebagai seorang munafik (meskipun melaksanakan siyam dan shalat dan mengklauim dirinya Muslim); Jika berkata berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat.”[3]


– Dari Sa’id bin Musayyib bin Hazn, bahwa kakeknya (Hazn) mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu Nabi bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”, dia menjawab, “Hazn (sedih).” Nabi berkata, “Bagaimana jika namamu diubah dengan Sahl (mudah)?”. Hazn berkata, “Saya tidak mengganti nama yang telah diberikan oleh kedua orang tua saya, sehingga akupun dikenal di kalangan masyarakat dengan sebutan nama tersebut.” Sa’id bin Musayyib berkata, “Karenanya sampai masa kami, keluarga kami dikenal oleh Ahlul Bait dengan sebutan al-Hazunah (keturunan Hazn).”[4]


Ditolaknya Lamaran Sang Khalifah


Said bin Musayyib termasuk manusia yang unggul. Ia hidup di zaman banyak orang-orang shalih. Namun di zaman itu pun orang memanggilnya manusia langka karena ia begitu takwa. Ia menunaikan haji sebanyak 40 kali. Selama 40 tahun ia tak pernah datang ke Masjid Nabawi lebih lambat dari takbir pertama. Selama itu pula ia selalu berada di shaf terdepan dalam shalat berjamaah. Salah satu hal yang diingat orang dari Said bin Al-Musayyib adalah saat ia menolak lamaran khalifah untuk putrinya.


Sebenarnya tidaklah aneh bila Said bin Al-Musayyib jadi demikian shalih, ia adalah pelajar yang gigih dan sungguh beruntung bertemu dengan guru-guru yang luar biasa. Said belajar pada para istri Nabi Saw, ia juga belajar pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Said bahkan sempat mendengar perkataan dari Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Shuhaib dan beberapa sahabat lainnya.


Suatu ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan melamar putri Said bin Al-Musayyib untuk putranya, Al-Walid. Namun Said menolaknya. Ketika orang-orang bertanya mengapa ia menolak, Said berkata, “Apa anggapan kalian terhadap putriku bila ia pindah ke istana Bani Umayyah dan bergelimang di antara baju-baju mewahnnya dan perabotan megah? Pembantu, pengawal dan para budak berdiri di depannya, di sebelah kanan dan kirinya. Kemudian ia mendapatkan dirinya setelah itu menjadi istri khalifah, bagaimana jadinya agamanya ketika itu?”


Karena penolakannya ini beliau dihukum 60 kali cambuk, disiramkan air dingin ke tubuhnya saat muslim dingin, dan dipakaikan kepadanya jubah yang terbuat dari kain sutera.


Said malah menikahkan putrinya dengan muridnya yang shalih walau miskin, bernama Abu Wada’ah. Setelah menikah, Abu Wada’ah mengemukakan pendapat tentang istrinya, “Ternyata ia adalah wanita Madinah yang tercantik, manusia yang paling hapal terhadap kitab Allah, paling banyak meriwayatkan hadis Nabi dan wanita yang paling paham terhadap hak-hak suami.”


Ketakutan Said Bin Al Musayyib Akan Fitnah Wanita

Dari Ali bin Zaid dari Said bi Al-Musayyib, dia berkata, “Tidak ada yang lebih mudah bagi setan utk menggoda kecuali melalui perempuan.” Kemudian, Said berkata “Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada perempuan.” Padahal saat itu umurnya sudah lanjut, tua renta dan salah satu penglihatannya telah buta sedangkan yang tersisa pun sudah kabur penglihatannya karena rabun.

Dari Imran bin Abdul Malik, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tak pernah merasa takut kepada sesuatu pun seperti ketakutanku pada wanita.” Orang orang yang mendengarnya selanjutnya mengatakan, “Sesungguhnya orang seperti Anda tak pernah menginginkan wanita (untuk dinikahi) dan tak ada wanita yang mau mengawini anda,” Dia berkata, “Memang itulah yang aku katakan kepada kalian.”

Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki laki (melainkan fitnah yang datang dari) wanita.” Dikeluarkan oleh Bukhari (9/5096); Muslim (4/2097), Ibnu Majah (3998) dan At-Tirmidzi (2780) dan dia berkata: “Hadits Hasan Shahih”

Said Bin Al Musayyib mendatangi rumah istri-istri Rasulullah untuk memperolah ilmu dan berguru pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas. Beliau mendengar hadis dari Utsman, Ali, Suhaib dan para shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

Beliau berakhlak dengan akhlak mereka dan berperilaku seperti mereka. Beliau selalu mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari: “Tiada yang lebih menjadikan hamba berwibawa selain taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiada yang lebih membuat hina seorang hamba dari bermaksiat kepada-Nya.”






[1] ( Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, Manna’ul Qaththan, hlm, 294, Maktabah Wahbah)


[2] . tahdzib al-kamal 11/74.


[3] – HR. Ahmad (3/no. 9169), Muslim (105) dan Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan sanad yang berbeda dalam al-Iman (33).


[4] – HR. Ahmad (9/, no. 23734), al-Bukhari dalam Adab Mufrad no. 6190 dan al-Baihaqi (9/307).