Sunday, January 3, 2016

KIAI MOH. QOMARI SHOLEH

Sejak kapan aku bisa belajar menulis, tidak kuingat sama sekali. Yang aku ingat: aku gemar membaca majalah dan buku-buku cerita sejak kecil, sejak ayah sering membawakan majalah dari kantornya. Begitu pula majalah Si Kuncung yang menjadi langganan setelah aku mendapat upah, hasil dari menyapu ruang kelas kuliah di sebuah perguruan tinggi di depan rumahku. Namun, setelah kuingat-ingat lagi, ternyata Beliau-lah yang pertama mengajariku menulis, KH Mohammad Qomari Sholeh (selanjut ditulis Kiai Qomari).


Bermula dari mengaji kitab Tajwid Al-Jazariyah yang diajarkannya di kelas Shiffrus Tsani (SP 2), itu kami belajar membuat makalah, meski dalam bentuk yang paling sederhana. Hanya merangkum atau meresum. Sebuah kepuasan yang tak terhingga ketika tugas itu selesai dijilid. Kami disuruh mengklasifikasikan sifat-sifat huruf Al-Hijaiyah dan pengertian Ilmu Tajwid.


Kiai Qomari, Allhumma yarham. Fostur tubuhnya gemuk. Putih dan bersih. Pandai pidato dan ceramah. Setiap bicara selalu dinanti dan digemari oleh santri-santri di Madrasatul Quran Tebuireng. Pandai merangkai kata dan membuat jocke-jocke.


Terlalu banyak cerita lucu penuh hikmah yang diceritakan olehnya. Kami menyebutnya Kiai Dalang begitu. Ya, begitu pandainya ia melagukan setiap bait-bait kitab Al-Jazariyah dengan langgam seorang dalang. ”Qaala Muhammad ibnu Al-Jazary….” katanya membuka pengajian. Kami melanjutkan dengan suara bareng, ”do rok tok tok tok….” Begitu, kami serentak mengikutinya melagukan syair-syair kitab. Metode mengajar model seperti ini memang seperti murahan layak seorang dalang, namun memiliki nilai estetik tinggi. Terutama, tidak mudah membuat santri-santri yang ikut pengajian menjadi ngantuk.


Menjelang akhir tahun 1990an, ia mendirikan pesantren sendiri, Nurul Quran, di desa Bandungrejo Jogoroto Jombang. Bersama adik iparnya, Kiai Jumali Ruslan—guru fikih kami yang paling tawadu dan alim di bidangnya—Kiai Qomari istiqamah membina santri-santri tahfidh. Cerita yang masih kuingat darinya ketika menyebut bersiul di mesjid itu haram hukumnya.


”Lho, kok haram, kiai?” tanyanya, retoris. ”Lha, iya, itu ada dalilnya. Shahih.”


”Apa dalilnya, Kiai?”


”Anil masjidil haram…,” jawabnya.


Sejenak, kami tertegun coba mencerna ceritanya. Kok, ’anil masjidil haram? Apa hubungannya Isra Mikraj dengan bersiul? Kami menggumam dalam tanya.


”Lha, iya, toh? ’Anil di mesjid itu haram,” tegasnya.


Seorang temanku nyeletuk. Anil itu kalau bahasa Jawa artinya bersiul.


O, itu toh maksudnya? Dan, kami pun tertawa berderai.


Ah, masih banyak cerita yang aku sudah lupa. Mungkin, ada teman lain nanti yang akan menambahkan.


Suatu ketika kami berkunjung, sowan, ke pondoknya di Bandungrejo. Dengan wajah sumringah, ia menyambut kami layak tamu yang membuat salah tingkah diperlakukan demikian. Diajak makan dan dijamu berbagai macam buah. Seharus, kami yang datang membawa oleh-oleh. Eh, ini malah terbalik, kami yang dijamu sedemikian rupa. Kiai Qomari yang kukenang, kiai yang bersahaja penuh persahabatan dan kekerabatan.


Ia juga memiliki empati yang kuat terhadap santri-santrinya. Adalah Candra, teman santri yang sekampung denganku. Ia terkena kecelakaan, ketika saat jamaah salat maghrib ia pura-pura sakit di kamarnya. Candra ingin menanak air melalu hotter listrik. Seharus, hotter dan air dimasukkan bareng ke dalam cangkir atau wajan agar tatkal kalor hotter menyebar mengikuti air. Namun, yang dilakukan Candra adalah: setelah hotter panas dicolok di saluran listrik, baru dimasukkannya ke dalam air. Sehingga dengan sendiri, elemen hotter tersebut meledak karena tidak bisa beradaptasi lagi dengan dingin air. Meledak dan mengenai mata Candra. Seketika ia diboyong ke rumah sakit Jombang.


Di rumah sakit, beberapa hari kemudian. Candra terbaring dengan mata terbalut perban. Menurut dokter, masih untung ledakan itu tidak mengenai retina yang dapat menyebabkan kebutaan.


Dalam suasana mata masih diperban. Candra yang memang suka mokong itu coba merokok di teras rumah sakit. Saat itu, ia ditemani oleh Novi, saudaranya. Sedang asyik-asyik merokok, tiba-tiba Kiai Qomari datang menjenguk. Novi yang melihat gelagat kurang baik, berbisik di telinga Candra. ”Can, ada Kiai Qomari.”


Tanpa hirau, Candra terus merokok sembari mendengar lagu, memakai head phone. Seperti tanpa berdosa, ia cuek ketika Kiai Qomari memanggilnya.


Hingga akhir, Kiai Qomari menepuk-nepuk tangan Candra.


”Ah,” jawab Candra. Seraya masih tetap asyik, tak tahu kalau Kiai Qomari sudah di sampingnya.


Novi pun mengambil inisiatif, membuka head phone di telinga Candra. “Ada Kiai Qomari…,” bisik Novi agak keras.


”Hah??!!”


Candra salah tingkah dan merasa bersalah.


Untung, Kiai Qomari yang penyabar dan pengertian itu tidak pernah memarahi Candra.


Kiai Qomari memang dikenal sebagai kiai. Pengajiannya meluas hingga di luar pondok pesantren. Undangannya di mana-mana. Siang malam sering membawa berkat. Karena, sering diundang mengisi ceramah pengajian hingga ia sendiri tak mampu mengontrol makannya. Yang enak-enak dan kolesterol tinggi tak berpantang. Hingga akhir, ia pun dijemput oleh Yang Maha Kuasa dalam usia yang masih muda. Allahummaghfir lahu warhamhu.


Lahu Al-Faatihah


Sumber : M. Sakdillah, adalah penulis buku: Gus Dur Sastrawan Terbesar Nusantara (2015) .