Nyai Mahmudah lahir di Solo pada 12 Februari 1912. Ayahnya KH Masyhud adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Masyhudiyyah Keprabon Solo. Sedangkan suaminya, A. Mawardi adalah tokoh pergerakan PSII Solo yang disegani. Mawardi ini lah yang mengenalkan dunia pergerakan nasional kepadanya, sebelum wafat pada tahun 1943. Sejak itu, perjalanan panjang berkarir, berjuang dan membesarkan anak-anak dijalani dengan single fighter. Tapi semua anak-anaknya menjadi sukses dengan hasil yang sangat mengagumkan.
PENDIDIKAN
Sejak kecil, Nyai Mahmudah belajar kepada orang tuanya di Pondok Pesantren Al-Masyhudiyyah Solo. Beliau menempuh pendidikan dasar selama 6 tahun di Madrasah Sunniyyah Ibtidaiyyah Solo dan tamat pada tahun 1923. Beliau melanjutkan pendidikan di Madrasah Sunniyyah Tsanawiyyah selama 3 tahun dan tamat pada tahun 1926. Setelah itu, Nyai Mahmudah melanjutkan rihlah pendidikannya ke Pondok Pesantren Jamsaren, pesantren tertua dan paling terkenal di Solo kala itu, di bawah asuhan KH Mohammad Idris. Selesai mondok di Jamsaren, Nyai Mahmudah diangkat menjadi guru di almamaternya yakni Madrasah Sunniyyah pada tahun 1930.
KARIER
Nyai Mahmudah adalah Ketua Pendiri Organisasi NDM (Nahdlatoel Moeslimat) Surakarta pada April 1931, sampai akhirnya bisa membuka cabang dimana-mana. Beliau pernah menjabat sebagai kepala sekolah Madrasah Muallimat NDM di Kauman Solo (1933-1945). Pada tahun 1945, setelah KH Masyhud meninggal, Nyai Mahmudah menggantikan posisi ayahandanya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Masyhudiyyah selama belasan tahun dan mengasuh setidaknya sekitar 150an santriwati putri.
Dalam masa perang kemerdekaan, Nyai Mahmudah aktif membantu perjuangan bangsa Indonesia melalui Barisan Hizbullah di Surakarta (12 Oktober 1945 - 19 September 1947). Beliau bersama dengan wanita lain berada di garis belakang dengan tugas utama: membuka dapur umum, mengumpulkan obat-obatan, lauk pauk dan menjadi kurir. Kelak, Nyai Mahmudah diakui sebagai Veteran Perang Kemerdekaan yang tanda penghargaannya ditandangani oleh Menteri Veteran RI H. Sarbini. Beliau juga mendapatkan penghargaan Bintang Gerilya dari pemerintah.
Pasca kemerdekaan RI, Nyai Mahmudah menjabat sebagai Ketua Pimpinan Cabang Muslimat Surakarta dan Ketua Organisasi Federasi Wanita Islam di Solo (1946). Pada tahun 1952, beliau duduk sebagai anggota Liga Muslimin Indonesia dari Unsur Nahdlatul Ulama. Pada tahun 1950, ketika diselenggarakan Muktamar NU di Jakarta, Nyai Mahmudah terpilih sebagai Ketua Umum Pucuk Pimpinan Muslimat NU. Beliau pun memimpin PP Muslimat selama 8 periode (1950-1979). Dalam kongres Muslimat selanjutnya, Nyai Mahmudah sudah tidak berkenan dicalonkan lagi dengan alasan memberi kesempatan kepada kader-kader muda. Setelah itu, Nyai Mahmudah diangkat menjadi Penasehat PP Muslimat NU (1979-1987).
PENGALAMAN POLITIK
Nyai Mahmudah dikenal dengan julukan politisi "Wanita Besi" brilian dari NU. Tak kurang dari 35 tahun, beliau aktif sebagai Srikandi Politik yang disegani. Dimulai tahun 1946 dengan menjadi anggota DPRD Kota Besar Surakarta dari golongan wanita. Pada tahun yang sama, beliau menjabat sebagai anggota BP KNPI mewakili Masyumi (waktu itu, NU masih bergabung dengan Masyumi). Pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), Nyai Mahmudah duduk sebagai anggota DPR RIS yang berkedudukan di Jogjakarta pada tahun 1949. Setelah itu, beliau menjabat sebagai anggota DPR RI terpilih (1956-1971), anggota MPR RI mewakili NU dan PPP (1971-1977) dam anggota MPR RI dari PPP (1977-1982).
WAFAT
Nyai Mahmudah Mawardi wafat pada Rabu Wage 26 Rabi'ul Awal 1408 H/ 18 Nopember 1987 pada pukul 14.00 WIB di Keprabon Wetan Solo dalam usia 78 tahun. Beliau dimakamkan di Astana Pulo Laweyan Solo.
Salah satu pidato legendaris dari Nyai Mahmudah Mawardi adalah saat beliau memberikan sambutan pada acara harlah Muslimat yang ke-26:
"Kini, kita telah memasuki usia Muslimat yang ke-26. Di belakang kita, telah kita tinggalkan sejarah, yang insyaAllah telah kita penuhi dengan perjuangan dan pengabdian, betapa pun kecilnya arti perjuangan dan pengabdian itu bagi agama, bangsa dan partai. Namun di hadapan kita , kini terbentang suatu arena perjuangan baru yang harus kita lalui. Arena ini bukannya suatu jalan lurus yang lembut dan datar, melainkan penuh dengan hambatan-hambatan dan halangan, laksana badai menghadang bahtera perjuangan kita. Kita mesti menempuh arena perjuangan itu. Oleh karena itulah satu-satunya jalan, yang di balik medan itu terletak harapan-harapan akan hasil cita-cita perjuangan yang kita dambakan. Tiada jalan menyilang, dan lebih-lebih tidak ada jalan untuk mundur kembali!"
Laha Al-Fatihah
Sumber : Teraju