Saturday, April 18, 2015

KH. Abbas Djamil Buntet, Cirebon

11002597_929363103743143_3802662090267045451_nKiai Abbas Djamil Buntet adalah putra sulung Kiai Abdul Djamil, yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Djamil adalah putra KH. Muta’ad, menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni mbah Muqayyim, salah seorang Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, kesultanan Cirebon.



Masa kecilnya banyak dihabiskan dengan belajar pada ayahnya sendiri, KH Abdul Djamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, ia baru pindah ke Pesantren Sukanasari, Pleret, Cirebon, di bawah asuhan Kiai Nasuha. Kemudian pindah lagi ke Pesantren salaf di daerah Jatisari, Pimpinan Kiai Hasan, masih di jawa Barat, lalu ia melanjutkan ke sebuah Pesantren yang diasuh oleh Kiai Ubaidah di Tegal, Jawa Tengah.

Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, ia pindah ke Pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Di Pesantren Tebuireng, kematangan dan kepribadian Kiai Abbas mulai terbentuk. Di Pesantren itu ia mulai bertemu dengan para santri lain dan Kiai yang terpandang, seperti KH. Wahab Chasbullah (Tokoh dan sekaligus salah seorang arsitek berdirinya NU), KH Abdul Manaf (pendiri pesantren Lirboyo, Kediri).

Abbas Djamil dikenal juga sebagai santri yang gigih dan giat belajar, walaupun ilmunya sudah sangat dalam, ia tetap berniat memperdalam ilmunya dengan belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia bisa belajar ke sana. Saat itu di Tanah Mekah itu masih ada ulama Jawa terkenal sebagai guru utamanya, yaitu KH Mahfudz Termas, asal Pacitan Jawa Timur.

Sedangkan rekan santri yang lain adalah KH. Bakir (Yogjakarta), KH Abdillah (Surabaya) dan KH. Wahab Chasbullah (Jombang). Di waktu senggang, Kiai Abbas ditugasi mengajar para Mukimin (orang-orang Indonesia yang tinggal di Mekah). Santrinya antara lain, KH Cholil Balerante (Palimanan), KH Sulaiman Babakan (Ciwaringin).

Sepulang dari Makkah, Kiai Abbas Langsung memimpin Pesantren Buntet dengan penuh kesungguhan. Kiai muda ini, sangat energik, mengajarkan berbagai khasanah kitab kuning. Namun ia juga tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Kitab karya ulama Mesir, seperti Tafsir Tontowi jauhari dan Fahrurrazi, juga diajarkan di Pesantrennya.

Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal di seluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpikiran progresif. Namun demikian ia tetap saja rendah hati kepada para santrinya.

Walaupun usianya ketika itu sudah 60 tahun, tubuhnya masih kelihatan gagah dan tegap. Rambutnya yang lurus, dan sebagian sudah mulai memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban, seperti lazimnya para Kiai. Pada saat itu, tahun 1939, perjuangan kemerdekaan sedang menuju puncaknya. Pengajaran ilmu kenuragan dirasa lebih mendesak untuk mendukung kemerdekaan. Maka Kiai Abbas pun mulai merintis perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kanuragan pada masyarakat luas.

Dengan gerakan itu, Pesantren Buntet dijadikan markas pergerakan kaum Republik, untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu, pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hisbullah. Di Pesantren Buntet, organisasi ini di ketuai oleh Abbas dan adiknya, KH Anas, serta dibantu ulama lain, seperti KH. Murtadlo, KH. Sholeh, dan KH. Mujahid. Karena itu muncul tokoh Hisbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon, seperti KH Hasyim Anwar, dan KH Abdullah Abbas, putra Kiai Abbas.

Semasa perang kemerdekaan, banyak warga pesantren Buntet yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya, KH. Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi, dan lain-lain.

Basis-basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya Revolusi November di Surabaya tahun 1945. Peristiwa itu terbukti setelah KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo segera datang berkonsultasi kepada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi KH Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu tidak dimulai terlebih dahulu sebelum Kiai Abbas dan laskar andalannya datang ke Surabaya.

Memang setelah dipimpin oleh Kiai Abbas dan adiknya KH. Anas, laskar Pesantren Buntet mempunyai peranan besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 November 1945, atas restu KH. Hasyim Asy’ari. Ia terlibat langsung dalam pertempuran di Surabaya tersebut. Selanjutnya juga Kiai Abbas mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hisbullah ke berbagai daerah pertahanan, untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali Republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.

Syahdan, ketika bertempur di Surabaya, ia berdiri di atas tempat yang agak tinggi. Mengenakan bakiak yang dibawanya dari Cirebon, ia membaca doa sambil menengadahkan tangannya ke langit. Saat itulah kekuatan karamahnya keluar. Ribuan alu (penumbuk padi) dan lesung melesat dari rumah-rumah penduduk dan menerjang para serdadu musuh, memukul mundur pasukan penjajah. Pihak sekutu kemudian mengirimkan pesawat pengebom untuk meluluhlantakkan Surabaya. Namun pesawat itu, berkat kekuatan karamah Kyai Abbas, meledak di udara.

Walaupun revolusi November 1945 di Surabaya dimenangkan oleh laskar-laskar pesantren dengan gemilang, hal itu tidak membuat mereka terlena. Belanda dengan segala kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republiki ini. Karena itu kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan.

Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan. Semua tidak terlepas dari perhatian para ulama. Maka betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam perjanjian Linggarjati pada tahun 1946, yang hasilnya banyak mengecewakan tentara RI.

Mendengar isi perjanjian seperti itu, Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati. Ia jatuh sakit, dan akhirnya kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada Hari Ahad, Subuh, 1 Rabiulawal 1365 atau tahun 1946 M. Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Buntet. Mutiara dari Pesantren Buntet itu telah menyumbangkan sesuatu yang sangat berarti bagi nusa dan bangsa. Meskipun dia sudah tiada, namun semangat kepahlawanannya tidak pernah luntur dan menjadi inspirasi para pejuang muslim di seluruh nusantara.

Lahu Al-Faatihah.