KH. Zainal Musthofa lahir di Kampung Bageur, Desa Cimerah, (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya pada tahun 1899 (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat) dari pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah. Sewaktu masih kecil ia bernama Umri dan sepulang dari pesantren berganti nama menjadi Hudaemi. Namanya menjadi Zainal Musthofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Selain memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat, ia belajar agama dari berbagai pesantren di Jawa Barat yang membuatnya memiliki pengetahuan agama yang luas dan mahir berbahasa Arab. Diantaranya Pesantren Gunung Pari selama 7 tahun, Pesantren Cilenga, Singaparna selama 3 tahun, Pesantren Sukaraja, Garut selama 3 tahun, Pesantren Sukamiskin, Bandung selama 3 tahun, dan Pesantren Jamanis selama 1 tahun. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.
Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Pada 1927 KH. Zainal Musthofa mendirikan pesantren yang merupakan cita-citanya. Pesantren yaang ia dirikan dinamai Persantren Sukamanah, bertempat di Kampung Cikembang Girang Desa Cimerah (sekarang Kampung Sukamanah Desa Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya. Nama Sukamanah merupakan nama pemberian dari orang yang mewakafkan tanah pesantren tersebut. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Seiring berjalannya waktu, pesantren Sukamanah berkembang sangat pesat. Selain semakin bertambahnya jumlah santri, KH. Zaenal Mustofa juga melakukan pembaharuan dalam system pendidikannya antara lain pada tahun 1930-an pesantren ini memberikan Tafsir Al-Qur’an dalam Bahasa Sunda untuk memudahkan pemahaman akan kandungan makna Al-Qur’an. Disamping itu beliau juga mengajarkan Bahasa Belanda terhadap santri-santrinya, sehingga pesantren ini menjadi pesantren terbesar dan sebagai pusat gerakan syiar dakwah Islam di seluruh Priangan Timur.
Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya. KH. Zainal Musthofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Beberapa tahun kemudian, tahun 1933 KH. Zainal Musthofa bergabung dengan organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy'ari, Nahdhatul Ulama (NU), dan diangkat sebagai wakil Rais Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
KH. Zainal Musthofa merupakan kiai muda yang berjiwa revolusioner. Ia menganut paham pendidikan yang sifatnya "Non Cooperation", tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Secara terang-terangan ia mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Melalui khutbah-khutbahnya ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda.
Akibatnya pada 17 November 1941, KH. Zainal Musthofa bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap pemerintah dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung. Baru bebas pada 10 Januari 1942, namun sebulan kemudian ditangkap lagi bersama Kiai Rukhiyat atas tuduhan yang sama dan dimasukkan ke penjara Ciamis.
Pemerintah Jepang yang menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia Maret 1942 membebaskan KH. Zainal Musthofa dengan harapan ia dapat membantu Jepang. Namun ia malah memperingatkan para pengikut dan santrinya bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda. Ia juga menolak melakukan seikerei, yaitu memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan membungkukkan diri 90 derajat (seperti ruku dalam shalat) kearah matahari terbit. Perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Pernah dalam suatu upacara di lapangan Singaparna, para peserta yang diundang termasuk KH. Zainal Musthofa dipaksa untuk melakukan seikerei dibawah todongan senjata Jepang. Semua peserta upacara tidak kuasa menolak karena nyawa yang terancam di bawah moncong senjata. Namun KH. Zainal Musthofa dengan tegas menolak dan tetap duduk dengan tenang. Akibat perbuatan tersebut telah menimbulkan ketegangan antara penguasa Jepang dengan KH. Zainal Musthofa serta para pengikutnya.
Dalam setiap dakwahnya KH. Zainal Musthofa selalu menekankan pentingnya berjuang melawan penjajah kafir Jepang yang lebih kejam dari Belanda dengan mendengungkan perang jihad. KH. Zainal Musthofa juga menggiatkan santrinya untuk melakukan latihan fisik dengan melakukan latihan beladiri pencak silat. Setiap hari di pesantren Sukamanah sibuk dengan latihan perang-perangan dan pengajian untuk mempertebal semangat berjuang.
Secara diam-diam santri Sukamanah telah merencanakan untuk melakukan tindakan sabotase terhadap pemerintah Jepang. Sekelompok kecil santri yang terlatih akan dikirim ke kota Tasikmalaya untuk melakukan gerakan yang merugikan pemerintah Jepang. Misalnya, penculikan para pembesar Jepang, membebaskan tahanan politik, merusak dan menghancurkan sarana-sarana umum seperti kawat telepon dan sarana penting yang kemungkinan dapat dipergunakan oleh tentara Jepang. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Musthofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Persiapan para santri ini tercium Jepang hingga mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil, bahkan mereka ditahan di rumah KH. Zainal Musthofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H), mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas. Peristiwa ini merupakan awal dari peristiwa bersejarah yaitu perlawanan terbuka santri Pesantren.
Awal peristiwa, tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum.
Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah.
Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Selain itu sekitar 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. KH. Zainal Musthofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zainal Musthofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zainal Musthofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zainal Musthofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
Pemerintah RI mengangkat KH. Zainal Musthofa sebagai Pahlawan Nasional pada 6 Nopember 1972 melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972. Bahkan sebagai rasa hormat dan terimakasih, masyarakat Tasikmalaya menjadikan nama beliau sebagai nama salah satu Jalan di pusat perkotaan Tasikmalaya. KH. Zainal Musthofa adalah kakek dari HR. Muhammad Mangundiprojo, atau biasa dikenal dengan HR. Muhammad. HR. Muhammad adalah seorang komandan lapangan yang berperan besar di saat pertempuran 10 Nopember 1945 Surabaya, namanya juga diabadikan menjadi nama jalan di Surabaya.
Oleh majalah AULA Edisi November 2012 hal. 58-59, beliau termasuk 9 komandan perang NU, yang daftar lengkapnya sebagai berikut :
- KH. Zainul Arifin 2. KH. Masjkur 3. KH. Munasir Ali 4. KH. Sullam Syamsun 5. KH. Iskandar Sulaiman 6. KH. Hasyim Latief 7. KH. Zainal Musthofa 8. H. Abdul Manan Widjaya 9. Hamid Roesdi
Lahu Al-Faatihah