Thursday, May 7, 2015

Manshur ibnu Ammar, Tasawuf dan Akhlak

Ini adalah figur lain dari permulaan tasawuf yang kita jumpai di Madrasah Bagdad dan masyhur dengan nasehatnya. Figur tersebut adalah Manshur bin Ammar bin Katsir Abu Sariy As Sulami Al Wa’idh (sang penasehat). Berasal dari Khurasan, pendapat lain dari Basra, dan tinggal serta menjadi ulama hadits di Bahdad. Menurut Penyusun Nata-ij Al Afkar Al Qudsiyah, Manshur wafat tahun 225 H.


Manshur termasuk orang yang paling indah mauidhahnya, bahkan dialah pemberi mauidhah paling sempurna dalam menyadarkan hati dan menggerakkan cita-cita. Dia memberi mauidhah di Bagdad, Syam dan Mesir. Ibnu Yunus mengisahkan dalam Tarikhnya, bahwa Al Laits bin Sa’d (wafat tahun 175 H) hadir pada mauidhah Manshur, lalu kagum akan mauidhahnya dan memberinya seribu dinar.


Bisyr bin Al Harits tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Manshur, sebab hal itu bisa menyebabkan riya sebagaimana dikatakan oleh Nickolson. Atau karena Manshur menjadikan mauidhah itu sebagai profesi untuk mencari uang. Konon dia sampai di Mesir dan memberi mauidhah, lalu Al Laits mendengar mauidhahnya dan menyukai mauidhah itu serta berkata: “Apa yang membuat anda mendatangi negeri kami?” Manshur menjawab: “Aku bekerja mencari uang seribu dinar”. Al Laits berkata: “Seribu dinar aku berikan kepadamu atas mauidhahmu yang indah ini”.


Namun apakah niat Manshur mencari uang dengan mauidhah diperbolehkan menurut pandangan sufiyah? Jika kita merujuk kepada Ats Tsauri, maka hal itu diperbolehkan, sebagaimana dikatakan Ats Tsauri sendiri: “Harta di jaman kami ini merupakan senjata bagi mukmin. Aku suka jika pencari ilmu cukup ekonomi, sebab jika dia melarat dan hina, maka menjadi bahan pembicaraan banyak orang”. Hal tersebut menunjukkan, bahwa tawakal hakiki tidak berlawanan dengan bekerja, khususnya bekerja yang halal dan mubah.


Mengenai taubat Manshur, konon dia menemukan sebuah kertas di jalan yang bertuliskan Basmalah. Dia mengangkatnya, namun tidak menemukan tempat untuk meletakkannya. Karena itulah dia akhirnya memakannya. Dalam tidur dia bermimpi, bahwa seseorang berkata: “Semoga Allah membuka pintu hikmah bagimu karena kamu menghormati kertas tersebut”.


Sanad haditsnya


Manshur tinggal di Bagdad dan berguru hadits kepada Ma’ruf Abu Khathab murid Watsilah bin Al Asqa’ ra, Laits bin Sa’id, Abdullah bin Lahi’ah dan Basyir bin Thalhah. Namun sanad haditsnya dicurigai dan dia dituduh sering mencampur hadits, sampai Adz Dzahabi berkata, bahwa Ibnu Adiy mencantumkan sebuah hadits yang menunjukkan, bahwa Manshur lemah dalam hal hadits. Bahkan Abu Hatim mengatakan, bahwa Manshur bukan rawi yang kuat. Ibnu Adiy berkata: “Haditsnya munkar”. Ad Daraquthni berkata: “Dia meriwayatkan banyak hadits dari rawi-rawi dhaif yang disetujui”. Barangkali hal itulah yang menyebabkan, bahwa Bisyr bin Al Harits tidak suka kepada Manshur. Bisyr banyak haditsnya, namun dia tidak mau berkecimpung dalam meriwayatkan hadits.


Manshur dan masalah sulit dari ilmu kalam


1- Masalah kemakhlukan Al-Qur’an


Apakah Al-Qur’an makhluk atau qadim (tidak makhluk)? Masalah ini menjadi ujian bagi Ahmad bin Hanbal ketika disiksa ketika dia mengulang-ulang, bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Sementara sekte Mu’tazilah dan Khawarij serta mayoritas Zaidiyah dan Syi’ah engatakan, bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah dan Al-Qur’an adalah makhluk Allah, asalnya tidak ada lalu ada. Mereka mendasari hal itu dengan mengingkari sifat qadim Allah. Adapun Ahli Sunah wal Jamaah, mereka memproklamirkan bahwa Al-Qur’an adalah qadim.


Khathib Al Bagdadi berkata: “Bisyr bin Ghiyats Al Marisi mengirimkan surat kepada Manshur bin Ammar: “Aku dengar engkau sudah banyak murid dan bahwa engkau berilmu. Karena itu, beritahulah aku, apakah Al-Qur’an itu Pencipta atau makhluk?” Manshur menjawab: “Semoga Allah menyelamatkan kami dan engkau dari segala fitnah. Kami sufiyah berpendapat, bahwa membicarakan Al-Qur’an adalah bid’ah, baik penanya maupun penjawab. Pencipta yang aku tahu hanyalah Allah dan selain Allah adalah makhluk, sedangkan Al-Qur’an adalah firman Allah. Hentikanlah perselisihan pendapat mengenai Al-Qur’an, maka kamu termasuk orang-orang yang memperoleh petunjuk”. Menurut versi Abu Nuaim Al Asbihani, Manshur menjawab: “Allah adalah Pencipta dan selain Allah adalah makhluk, sedangkan Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk”.


2- Masalah Arasy’ dan ‘istiwa’


Khathib Al Bagdadi berkata: “Bisyr Al Marisi mengirimkan surat kepada Manshur mengenai firman Allah: “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (Thaha 5) Bagaimana Allah ber-istiwa’? Manshur membalas surat itu: “Istiwa’ Allah tidak terbatas, menjawab masalah itu adalah memaksakan diri, pertanyaanmu tentang hal itu adalah bid’ah, dan beriman kepada hal tersebut hukumnya wajib”.


Dari jawaban ini dan ucapan Manshur yang lain mengenai masalah Al-Qur’an, jelas bagi kita bahwa Manshur berpegangan pada madzhab Ahli Sunah dan ulama hadits dan Manshur bukan termasuk sekte Syi’ah sebagaimana dikatakan Masignon. Pendapatnya mengenai Al-Qur’an adalah pendapat mayoritas sufiyah Suni yang sepakat, bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah sejati, bukan makhluk, tidak dibuat, tidak baru. Bahwa Al-Qur’an dibaca dengan lidah kita, tertulis pada mushaf, dihafal di dalam hati kita. Mereka sepakat, bahwa Al-Qur’an bukan jasad, elemen maupun sifat”.


Metodhenya dalam tasawuf


Ucapan-ucapan yang ditinggalkan Mashur kepada kita menunjukkan, bahwa ia mempunyai pandangan yang sempurna mengenai makrifat dan akhlak. Termasuk ucapan-ucapan tersebut adalah nafsu, kalbu dan takwa.


1- Nafsu. Manshur bin Ammar berkata: “Selamatnya nafsu adalah dalam melawannya dan musibahnya adalah dalam mengikutinya”. Yang dimaksudkan adalah sifat yang buruk dan tercela pada hamba, seperti takabur, marah, dendam, hasud, perangai buruk dan tidak sabar.


2- Kalbu sebagaimana ruh adalah tempat bagi sifat-sifat terpuji. Manshur berkata: “Kalbu seluruh hamba adalah ruhani. Jika kemasukan bimbang dan kotoran, maka ruhnya menolak”. Sepertinya mereka berpendapat, bahwa cinta lebih tinggi daripada makrifat. Yakni puncak kedudukan sufi adalah Allah mencintainya.


3- Takwa. Tasawuf adalah ilmu takwa dan puncaknya adalah makrifat. Batu loncatan menuju takwa dan makrifat adalah ilmu dan amal dan keduanya adalah syariat. Barangsiapa bertasawuf tanpa ilmu dan amal dan tidak belajar fikih, maka dia lebih dekat kepada kezindikan karena bodohnya, sedangkan dia mengaku mempunyai ilmu batin, yaitu ilmu makrifat.


Keramat-keramat Manshur


Konon, suatu saat penduduk Mesir meminta hujan dengan perantara Manshur, lalu hujan turun pada mereka dan orang-orang keluar dari rumah dalam basah dan tanah liat. Hal itu menjadi fitnah bagi mereka, sampai mereka mengatakan, bahwa Manshur adalah Khidhir as, berdoa lalu dikabulkan.


Al Qusyairi dalam Risalahnya menuturkan kisah budak yang disuruh tuannya membeli makanan ringan dengan uang empat dirham. Dalam perjalanan budak itu bertemu dengan Manshur yang sedang meminta untuk orang lain dengan upah empat doa. Budak itu menyerahkan keempat dirham tuannya, lalu Allah mengabulkan doa Manshur: dia dimerdekakan dan menjadi merdeka, tuannya memberinya empat ribu dirham, tuannya bertaubat dan berhenti meminum arak, Allah mengampuni Manshur dan mengampuni budak itu, tuannya dan teman-teman minumnya.


Manshur meninggal dunia pada tahun 225 H dikebumikan di kubur Bab Harb, sebuah komplek pemakaman di Baghdad. Di sebelahnya dikubur putranya, Sulaim. Manshur meninggal setelah menjelaskan sisi-sisi kehidupan ruhani Islam, yaitu akhlak, asas tasawuf Islam.


Lahu Al-Faatihah