K. H. Abdul Halim adalah seorang ulama kelahiran Majalengka tanggal 26 Juni 1887 ini. Semasa hidupnya, K. H. Abdul Halim telah memimpin dan melakukan perjuangan melalui bidang politik, ekonomi, dan pendidikan. Perjuangan pada masa penjajahan Belanda, dilakukan melalui Persjarikatan Oelama (PO), Sarekat Islam, dan PII. Pemikiran K. H. Abdul Halim yang sangat berharga adalah bagaimana membina keselamatan dan kesejahteraan umat dengan melakukan perbaikan yang meliputi delapan bidang (Al-Islah AsSamaniyah), yaitu: akidah, ibadah, pendidikan, keluarga, adat-kebiasaan, hubungan masyarakat (sosial), perekonomian, dan perbaikan umat. Dalam syiar Islam, Persjarikatan Oelama juga menyelenggarakan tabligh, menerbitkan majalah, dan brosur sebagai media organisasi.
Selain itu, ternyata K. H. Abdul Halim juga aktif sebagai wartawan di berbagai media baik politik maupun dakwah dan telah menulis sembilan buah buku. Dalam buku-bukunya. K. H. Abdul Halim berusaha menyebarkan pemikirannya yang penuh toleransi, menganjurkan untuk menjunjung tinggi akidah dan akhlak masyarakat serta tidak menolak untuk mengambil contoh kemajuan dari Barat. K. H. Abdul Halim, selain aktif di bidang politik, ia juga berjasa di bidang pendidikan, terutama dengan mendirikan Santi Asromo, yang merupakan pelopor pendidikan yang menggabungkan pelajaran agama, pelajaran umum, dan bekal keterampilan. Perjuangan melalui bidang ekonomi, dimulai K. H. Abdul Halim dengan mendirikan Hayatul-Qulub, yang mencoba melawan arus kapitalisme kolonial, mendirikan perusahaan percetakan, perusahaan tenun, dan pertanian.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1944, K. H. Abdul halim diangkat menjadi anggota BPUPKI untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, K. H. Abdul Halim terus berjuang melalui berbagai saluran. K. H. Abdul Halim sempat diangkat menjadi Bupati Majalengka dan memimpin rakyat untuk melawan NICA serta diangkat menjadi panitia penggempuran Negara Pasundan, yang merupakan negara boneka bentukan pemerintah kolonial yang ingin menjajah Indonesia kembali. K. H. Abdul Halim juga diangkat sebagai anggota KNIP dan ikut hijrah ke Yogyakarta setelah Perjanjian Renville. Di Yogyakarta, K. H. Abdul Halim menjadi pelopor berdirinya Universitas Islam Indonesia (UII).
Setelah pengakuan kedaulatan RI, K. H. Abdul Halim kembali ke Jawa Barat dan pada tahun 1951 K. H. Abdul Halim terpilih sebagai anggota DPRD Tingkat I Jawa Barat. Kemudian tahun 1956 diangkat menjadi anggota Konstituante.
Perjuangan KH. Abdul Halim dilandasi pada upaya untuk menciptakan persatuan dan kesatuan di kalangan umat muslimin. Perpecahan yang kerap terjadi di kalangan mereka justru akan merugikan kepentingan kaum muslimin. Persatuan dan kesatuan akan mengangkat harkat dan martabat kaum muslimin dari keterpurukannya di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Namun demikian, cara mempersatukan umat yang ditempuh oleh K. H. Abdul Halim tidak dilakukan dengan cara kekerasan, melainkan dengan cara ishlah. Strategi ishlah bukan hanya sebatas anjuran, namun secara langsung dilakukan oleh K. H. Abdul Halim ketika mempersatukan dua organisasi, yaitu PUI dan PUII pada tahun 1952 menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI). Bagi para kader PUI, kemampuan K. H. Abdul Halim mempersatukan dua organisasi Islam merupakan sebuah prestasi yang mengagumkan. Betapa tidak, karena tindakannya itu dilakukan ketika umat Islam menghadapi ancaman perpecahan, khususnya di dunia politik.
K. H. Abdul Halim meninggal dunia dalam usia 75 tahun dan meninggalkan seorang istri yang dinikahinya pada tahun 1907. Tidak ada harta melimpah yang diwariskan kepada istri dan keenam anaknya. Warisannya adalah semangat perjuangannya untuk melakukan perbaikan ummat. Istrinya pun hanya ditinggali penghasilan berupa tunjangan sebagai janda seorang Perintis Kemerdekaan. Tidak banyak hartanya, tetapi semangat perjuangannya yang tidak dapat diukur oleh materi. Perjuangan K. H. Abdul Halim berakhir saat ia meninggal dunia pada tanggal 7 Mei 1962.
Mengingat jasanya pada negara yang begitu besar, Pemerintah RI kemudian menetapkan dirinya sebagai Perintis Kemerdekaan. Selain itu, beberapa bintang jasa disematkan juga oleh pemerintah kepada K. H. Abdul Halim, yaitu Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Satyalancana Kebudayaan berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1961. Bintang jasa paling tinggi bagi anak bangsa dianugrahkan juga kepada K. H. Abdul Halim pada tahun 1992. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 048/TK/Tahun 1992, Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama sebagai bentuk penghargaan negara atas jasajasanya. Selain dari pemerintah, pada tahun 1999, Yayasan Asih Fatmah memberikan penghargaan kepada KH. Abdul Halim sebagai Ulama Pejuang yang dipandang telah memperkenalkan dan mempromosika Majalengka ke luar daerah Majalengka.
Lahu AL-Faatihah
Sumber :
Falah, Miftahul, SS, Riwayat Perjuangan K.H. Abdul Halim, tahun 2008, Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat